“Masalah, 'kan ada teruntuk setiap yang bernyawa. Didatangkan baginya masalah, agar mereka ulung memperkuat diri. Jikalau mereka berpaling — melarikan diri keluar dari masalahnya. Mereka hanya 'kan terlarut-larut pada masalah itu, dan bahkan jikalau mereka tak berpaling. Namun menghadapi masalah itu dengan cara yang batil. Maka hal itu tak dapat dibedakan dengan mereka yang berpaling.”
Berlari Untuk Ditinggalkan
Seorang anak, terlahir di dalam keluarga kecil nan bahagia, selalu dimanja kasih orang tuanya. Anak itu, merupakan Anak pertama di keluarga sederhana tersebut. Lantas, menjadikannya suatu hal yang paling disayangi. Walau begitu, kehidupan keluarga tersebut tak luput dari perpecahan. Ketika suatu hari Ayah sang Anak tersebut didapati menjalani kasih terlarang dengan seorang wanita primadona kampung, membuat Ibu sang Anak menjadi stres dan memutuskan untuk menelantarkan Anaknya kepada Kakek dan Neneknya.
"Ya, kehidupanku hancur semenjak itu." ucap Yudia Widyantara sembari meratapi nasibnya sekarang.
"Telah beberapa tahun semenjak kejadian itu, sekarang aku telah dewasa dan tinggal sendiri di kosan kecil." ucapnya lagi sembari menghisap rokoknya di teras kosan, melihat langsung ke langit yang kelabu. Ia bangkit dari kursinya, berjalan ke pembatas pagar di depannya, menyandarkan tangannya kepada hal tersebut.
"Lihat aku sekarang, aku di dunia ini tanpa pendamping, bahkan hidup sulit di usiaku yang mulai renta."
Seketika itu, ponselnya yang berada di meja berbunyi. Yudia dengan lesu beranjak dari posisinya, menjangkau ponsel tuanya. Sempat bergeming sebentar, ia lalu mengangkat panggilan suara yang masuk.
"Hay Yudia, udah lama gak ngomong sama lu," ucap seorang wanita dari ponsel Yudia. "apa lu udah punya uang buat bayar hutang lu ke gua?"
"Ya gimana ya Ferra, maaf banget nih, gua belum ada cuan buat ngebayar hutang gua ke lu, jadi beri gua waktu sebentar lagi ya Fer." ucap Yudia dengan gemetar.
"Gak bisa gitu, lu sedari dahulu udah menunda-nunda janji lu ke gw. Lu jangan berdusta terus jadi orang, ni udah tanggal tua bre. Gua amat butuh uang, sumpah."
"Ya, maafin gua Fer." Yudia dengan berat hati mengakhiri panggilan suara tersebut. Terlintas di hatinya yang rapuh, suatu hal yang batil. Dengan cepat berkemas, memakai pakaian tertutup yang serba hitam. Ia dengan tergesa-gesa pergi ke suatu tempat yang ramai orang.
Terlintas di benak Yudia, mempertanyakan dirinya sendiri. "Di pasar ini, gua akan menjadi copet. Apakah gua sejahat itu?" Ia membatu, mempertanyakan apa yang 'kan dia lakukan. Sadar dengan ketidakmampuannya dalam menghadapi realita yang keji itu, Yudia memutuskan untuk tidak melanjutkan aksinya.
Dengan kucam, ia beranjak pulang ke rumahnya. Mengemasi barang-barang yang ia rasa perlu dibawa, mengganti bajunya yang lusuh itu dengan celana jin berwarna coklat, dengan kaos asfar bak mentari. Ia berniat untuk pergi dari negerinya, pergi dari kota kelahirannya. Ketika ia telah siap, ia menuruni anak tangga di kosannya satu per satu. Pada detik-detik itulah, tubuhnya terjerumus ke anak tangga yang ke sekian. Membeku dalam waktu, ruang yang terurai. Dalam sekedip mata, ia kembali muncul di ruang kuning yang busuk itu.
Tak terbayangkan sebelumnya. Noclip baru saja bermula padanya, dengan cara yang tak diduga-duga.
Pelari Berhenti
Berakhir di ruang lembap nan lusuh. Yudia terkesima melihat ruangan kuning dengan wallpaper yang absurd. Mendadak, bulu kuduk Yudia berdiri karena sadar mendapati dirinya di tempat yang asing. Sempat berfikir bahwa semua itu hanyalah mimpi, namun hal tersebut dipatahkan oleh fakta bahwa ia masih dapat merasakan rasa sakit setelah mencubit pipinya sendiri.
Ia lekas bangkit, berusaha mencari jalan keluar atau bahkan seseorang. Teriakannya bergema di mana-mana. Saat rasa panik mulai menguasai dirinya, ia berlari sekencang mungkin tanpa henti, sembari berteriak tak karuan. Pada akhirnya ia sadar melakukan itu hanya membuang-buang tenaganya. Ia mulai menenangkan diri, berusaha meyakinkan dirinya sendiri bahwasannya ini hanya…
"Tidak ada alasan yang masuk akal tentang tempat ini, bagaimana cara aku menenangkan diriku ini?" ucap Yudia dengan nafas yang terputus-putus.
Waktu kian berlalu, Yudia lalui dengan rasa panik yang tak dapat diselubung. Rasa takutnya begitu jelas terukir di wajahnya. Tak menyerah dengan keadaan, Yudia terus berusaha bergerak sembari berteriak meminta tolong. Tak ada satu pun kehidupan yang tampak. Ruang itu begitu suram dan tak berujung. Rasa-rasanya Yudia dapat gila kapan saja; bahkan mendapati dirinya mulai mengalami halusinasi akut.
Letih dengan keadaan, walaupun ia gentar dengan kondisinya, ia tak mau memasrahkan keadaan. Ia terduduk di pojok ruangan itu, mulai menyadarinya saat ia kembali merenung ke masa lampau.
"Duluku selalu lari dari kenyataan, masalah, dan tanggung jawab. Aku membenci diriku untuk bagian 'lari dari tanggung jawab' karena itu mirip seperti Ayah-ku." renungnya.
Fisiknya yang telah goyah, ia telah letih. Ia tak kuasa menahan kantuk, yang pada akhirnya tertidur dengan tangan yang memeluk kakinya yang tertekuk.
Ia bermimpi akan sosok manusia tengkorak tak berkulit. Sosok itu berseru "Sungguh manusia itu lalai lagi tercela. Sungguh aku mengasihani mereka, maka aku memberikan mereka kuasa atasku. Namun, yang mereka perbuat adalah kerusakan. Aku ibarat melihat kotoran menggeliat yang kegirangan di atas kaca yang rapuh nan rapuh."
Yudia tersentak dari mimpi buruknya. Mendapati dirinya masih di ruang kuning itu. Yudia bangkit dari posisinya berlari sekuat tenaga tak kenal arah, berteriak membabi buta. Segenap hatinya merasa resah sembari berharap kepada Tuhan untuk dikeluarkan dari mala petaka tersebut. Sampai di mana ia tidak menyadari bahwa ia sekali lagi, mengalami noclip ke tempat yang jauh nan jauh berbeda.
"Kali ini, apa lagi. Ini adalah neraka. Tolong keluarkan aku." ucapnya dengan nada pelan dan gemetar. Ia terus berjalan di tempat tak dikenal, dengan baju yang telah lusuh. Hari berganti hari, halusinasinya akan isolasi menjadi membara. Sesosok makhluk di dalam mimpinya dahulu menerornya. Ia ketakutan, ia kesepian, ia akan gila. Saat langkahnya terhenti, ketika ia terlena dengan realita. Ia disadarkan oleh cengkraman sosok tengkorak itu. Membuatnya tersentak berteriak lari menjauh darinya.
Minggu berganti minggu. Ia terus berlari, tanpa berhenti. Menabrak makhluk untuk mendistorsinya, menabrak benda hanya untuk terus berlari. Ketika ia yang dahulu fana menjadi kekal tak menua. Ia letih, terisolasi di Backrooms tanpa teman. Ia menyesali masa lalunya, dan bahkan jika ia diberikan kesempatan ke dua, ia akan melakukan yang sebaik-baiknya.
Bulan berganti bulan. Rasa takut terhadap makhluk yang mengejarnya mendominasinya, membuatnya tak kunjung berhenti. Saat rambutnya mulai memanjang menutupi keningnya, ia tetap berlari.
Tahun demi tahun. Beragam tempat telah ia kunjungi, banyak Penjelajah telah ia musnahkan. Penyesalannya yang mendalam, nyaris membuatnya pasrah terhadap semuanya. Ia ingin menutup matanya.
"Siapa kau?" tanya Yudia terhadap makhluk yang mengejarnya.
"Aku, adalah wujud dari penyesalanmu dan orang-orang."
"maksudmu, kau tidak hanya menerorku seorang?"
"Tentulah, banyak jiwa-jiwa nihil tak tentu arah yang kubuai kuasaku. Sungguh merekalah yang beruntung untuk tak lagi mendapat penderitaan orang lain."
"Tidak, kau salah. Kami menderita akanmu, kami gentar terhadapmu… TIDAK! KU TAK AKAN GENTAR LAGI! AKU AKAN MELAWAN RASA TAKUTKU TERHADAPMU"
"Kamu tidak akan mampu."
"AKU MAMPU, WALAUPUN ITU UNTUK SESAAT."
Mengembangkan keberanian untuk tak gentar, mengibarkan api semangat untuk berubah. Ia berhasil berhenti berlari.
Setelah sekian lama, ia dapat berhenti. Terjatuh lemas, bahagia dan haru tercampur aduk. Ketika seorang Penjelajah mendapati Yudia terkapar lemas di jalan, dia menanyakan hal tersebut, dan Yudia menceritakan semuanya kepadanya.
Namun, menit demi menit ia lalui, menceritakan kisahnya yang pilu kepada orang di sampingnya. Makhluk itu, sang monster tengkorak kembali muncul tepat di hadapannya. Membatu, ketika pupilnya melebar. Dirinya terbebani rasa cemas yang tak terbendung, ketika daerah di sekitarnya terdistorsi.
"Apa yang kau mau lagi." tanya Yudia terhadap sang monster tengkorak itu.
"Jika engkau berhenti, engkau hanya akan pilu dan hancur. Jika engkau terus di sini, semuanya akan berakhir."
Yudia mempedulikan seorang Penjelajah di sampingnya, membuatnya terpaksa untuk melanjutkan penderitaannya untuk berlari di Backrooms, sendirian.