BTM - Prolog 1

penilaian: +3+x

Sebuah cahaya kemerahan dapat terlihat dengan jelas di dalam kegelapan, cahaya yang tampak seperti sebuah bintang merah redup yang menyinari angkasa yang kelam. Cahaya itu berkedip, seperti lampu peringatan yang biasa ditemui pada mobil ambulan. Cahaya itu bukan lampu, tetapi sesuatu yang lebih organik. Kunang-kunang? Yah, sesuatu seperti kunang-kunang tetapi berkedip dan berwarna merah.

Balutan demi balutan jaringan daging yang lembut mulai terbuka dengan perlahan layaknya kelopak bunga yang mekar setelah hujan. Cahayanya kian terang seiring terbukanya semua balutan tersebut, bisa terlihat bahwa ternyata sumber cahaya yang terang itu berasal dari dalam semua balutan yang aneh itu.

Bunga dari daging namun bercahaya? Apa itu? Entahlah. Namun, tiba-tiba cahaya tersebut padam ketika seluruh kelopak terbuka seutuhnya sebagai pertanda dari sebuah siklus kehidupan lainnya telah dimulai. Sesuatu terlihat bergerak keluar dari dalam bunga tersebut walau tidak jelas wujudnya karena betapa gelapnya ruangan itu.

Sebuah suara langkah kaki kemudian dapat terdengar di lorong yang panjang setelahnya, suara yang menonjol itu ternyata berasal dari seorang gadis muda yang sedang melangkah dengan santai sambil mengenakan tas sandang berukuran besar di bahunya. Ia baru saja keluar dari ruangan yang gelap itu—ia baru selesai dari istirahat panjangnya.

Gemerincing kalung besi berantai pendek menemani setiap langkahnya. Rambut merahnya terlihat kontras dengan lorong berwarna putih itu seperti genangan darah yang entah bagaimana berada di tengah padang tundra. Pakaiannya yang serba putih dengan jaket hitam terlihat cocok dengan lorong itu sehingga menyebabkan hanya rambutnya saja yang menonjol sendiri.

Mata merahnya menatap dengan tajam ke sana kemari seperti mencurigai setiap sisi lingkungan yang menyelimuti dirinya. Perasaannya terus berkecamuk dan ia selalu waspada dengan keadaan sekitar, ia merasa bahwa ancaman dapat datang dari mana saja di waktu seperti ini secara tidak terduga.

Ia kemudian berhenti sebentar setelah melangkah beberapa lama untuk membuka tas yang telah ia sandang sedari tadi karena ia teringat akan sesuatu, ia langsung mengambil buku catatan miliknya yang berukuran kecil dari dalam tasnya itu.
“Misi terakhir …,” gumamnya.

Sepertinya memang sudah waktunya untuk menjalankan misi terakhirnya setelah berbagai peristiwa mengerikan nan horor yang selalu terjadi di tempat yang hening ini. Anehnya, semua pengalaman itu membuatnya telah terbiasa seolah-olah perasaannya sudah tidak merasa ngeri atau takut lagi.

Peristiwa demi peristiwa tak mengenakkan telah terjadi berulang kali selama berbulan-bulan—yang ia pun turut terlibat di dalamnya, mungkin karena sering terjadi dan terlibat inilah yang membuatnya menjadi terbiasa akan semua peristiwa itu. Sebuah peristiwa di mana jiwa-jiwa tak bersalah melayang seperti ngengat yang terbang ke api begitu saja, semua itu diakibatkan oleh satu hal saja; entitas Manstria.

Dunia yang gila ini memang memiliki banyak sekali kejutan di dalamnya mulai dari lingkungan sampai ke bentuk kehidupannya, dan Manstria adalah salah satunya. Manstria, ah, ada begitu banyak kenangan buruk jika menyebut nama sebutan mereka. Entitas asli dari dunia ini … entitas predator yang menunjukkan kepada manusia siapa yang berada di puncak rantai makanan yang sesungguhnya.

Manstria, siapa yang tidak mengenal mereka? Semua orang yang pernah menginjakkan kaki di tempat terkutuk ini sudah tahu tentang entitas yang telah mengakhiri hidup banyak orang yang tidak bersalah itu. Mereka adalah para monster tanpa rupa yang sangat cerdas sekaligus dijuluki sebagai “Ahlinya Menipu”.

Tanpa rupa dan cerdas, dua kombinasi berbahaya yang tentunya adalah mimpi buruk bagi siapa pun yang tidak berdaya. Entah siapa yang menetapkan konsep seperti itu kepada para monster tidak kenal kasihan yang satu ini, siapa pun itu, benar-benar punya selera yang buruk, bukan?

Gadis itu menghela nafasnya dengan berat. Kali ini misinya adalah mengawal para penyintas penjelajah yang akan mendatangi tempat terkutuk ini untuk terakhir kalinya. Misi yang akan ia tempuh, sebagai sesama “Penyintas”.

Ia termenung sebentar, apakah ia bisa melakukannya lagi? Setelah berbagai upaya pengawalan yang ia lakukan, ternyata para monster itu malah semakin kuat. Setelah berbagai cara yang telah para manusia lakukan dalam mengatasi mereka, ternyata para monster itu malah menjadi semakin cerdas. Dan hasilnya? Kematian demi kematian terus menerpa seperti tetesan hujan yang lebat!

Para monster itu belajar dari pengalaman mereka dengan baik, mereka bahkan membuat sesuatu yang baru untuk mengelabui mangsa favoritnya yaitu manusia. Mereka tahu bahwa manusia bukanlah mangsa yang mudah jika para manusia itu bersatu, sehingga mereka tiba pada sebuah solusi: hancurkan mereka dari dalam.

Dengan kemampuan mereka dalam meniru, mereka menghancurkan banyak tim manusia dengan gampangnya dan menyebarkan rasa ketidakpercayaan di antara mangsanya. Para monster itu juga semakin berkembang ke arah yang semakin tidak masuk akal setelah berulang kali berinteraksi dengan manusia, melihat mereka bisa membuat senjata seperti yang manusia lakukan bahkan sudah tidak aneh lagi.

Dunia ini aneh, memang aneh. Tampaknya segala hal yang ada di dunia ini mencoba untuk menjadi yang teraneh dari yang teraneh. Contohnya Manstria yang awalnya hanya seonggok daging bodoh yang gampang untuk dikelabui bahkan oleh anak-anak sekalipun, namun setelah beberapa saat saja, mereka tiba-tiba mencapai tahap cerdas setelah pertemuan mereka dengan manusia!

Tetapi, tidak ada waktu untuk merenung, tidak ada waktu untuk bersedih, apa pun yang terjadi kali ini harus bisa! Setidaknya begitulah cara gadis berambut merah itu untuk menyemangati dirinya yang hampir saja hanyut dalam kenangannya. Ia kembali melangkah menuju ke titik pertemuan yang telah ditetapkan dengan langkah tegas.

Ia kemudian meratapi sebuah poster yang ada di dinding, itu adalah satu dari sekian banyak poster promosi yang selalu tergantung di beberapa titik di tempat ini. “Selamat datang di Alvus” tulisan di poster itu.

Alvus. Sebuah kumpulan ruangan dan koridor tanpa batas yang didekorasi dengan berbagai gaya struktur ruangan yang berbeda yang kesemuanya diasumsikan terbentang lebih luas dari jutaan kilometer. Tempat ini dibagi ke dalam 25 lantai atau sektor yang dinamai sesuai alfabet. Ya, kalian tidak salah baca, wilayah dalam ruangan ini sangatlah luas secara tidak masuk akal.

Kesemua semua sektor itu dihubungkan dengan anak tangga yang tersebar secara acak dan semuanya saling berjauhan. Ini menyebabkan tempat ini kurang lebih adalah tempat perjalanan wisata yang indah karena bisa menghabiskan cukup waktu sambil memenuhi tasmu dengan pernak-pernik yang menarik.

Alvus, tempat yang indah, tempat yang dipenuhi oleh banyak orang, sekaligus tempat yang dipenuhi oleh banyak barang-barang yang menggiurkan. Para penyintas datang kemari karena begitu banyak barang yang bisa mereka dapatkan dengan gratis, siapa yang tidak tergoda dengan harta karun yang gampang didapatkan?

Bahkan barang-barang tersebut akan muncul kembali walau sudah diambil sehingga kamu bisa memiliki dua barang yang sama setelahnya—tidak, barang yang sama akan muncul lagi setelah kamu memiliki kedua barang itu. Tidak terbatas, itulah daya tarik utamanya.

Para pemulung handal itu berduyun-duyun datang ke dalam tempat ini untuk mengumpulkan barang, jelas sekali mereka ingin menjadi konglomerat setelah menjual semua barang itu kembali setelah keluar dari sini. Ya, tempat ini menjadi magnet untuk para manusia yang haus akan sumber daya gratisan. Seperti sebuah tombol, sekali ditekan, maka semua orang menjadi tergila-gila akan harta.

Entitas-entitas yang ada di dalam tempat ini sangat sederhana serta sudah diketahui banyak orang, tetapi yang paling unik adalah para Manstria. Mereka disebut sebagai gumpalan daging sederhana yang bisa ditebak alias bodoh kata mereka. Hah. Manusia-manusia itu makhluk yang angkuh, mereka memiliki kecerdasan, lalu menggunakannya untuk merendahkan Manstria!

Mereka makhluk yang rakus, melihat sumber daya yang melimpah mereka langsung merasa kelaparan. Mereka mendatangi tempat tinggal dari para Manstria itu dengan cepat, mengambil alih banyak wilayah, menjarah sumber daya, meramaikan tanah yang hampa, dan menghajar para Manstria yang tidak berdaya dengan persenjataan mereka.

Tetapi, kita semua tahu seperti apa akhir cerita ini, sebagaimana pun bentuk gunung pasti ada sisi yang berlawanannya seperti lembah, dan seperti itu pula lah alur cerita ini. Siapa yang bilang Manstria itu bodoh? Mereka belajar dari kesalahan! Mereka belajar dari pengalaman!

Tidak ada manusia yang menyadari bahwa mereka telah menyuapi para monster itu dengan ilmu pengetahuan sedikit demi sedikit, lalu kemudian ungkapan lawan api dengan api pun menjadi nyata dengan sendirinya. Menggunakan apa yang mereka dapatkan dari manusia, para monster itu akhirnya berhasil membalikkan keadaan.

Mereka meniru bahasa manusia, mereka meniru wujud manusia, mereka meniru persenjataan manusia, mereka meniru sistem sosial manusia, mereka menjadi … manusia. Manusia tidak sadar bahwa waktu telah mendukung para Manstria untuk merebut kembali tanah kelahiran mereka, perlahan tapi pasti, mereka berkembang di luar sepengetahuan manusia.

Manusia begitu angkuh menyatakan bahwa waktu itu tidak ada di seluruh dunia yang aneh ini, tetapi ketika sang waktu muncul di hadapan mereka, mereka langsung menjadi sekumpulan makhluk yang hina. Dan sekarang kita berada di penghujung cerita di mana manusia menyadari siapa diri mereka: tamu tidak tahu diri.
Liter demi liter darah dikuras, tulang demi tulang dihempas, organ demi organ dilibas, dan jiwa demi jiwa terlepas. Level yang dahulu manusia jarah, level yang dahulu manusia cintai, berubah menjadi pemakaman masif hanya dalam hitungan bulan.

Manstria berpesta ria di atas onggokan jasad manusia yang sudah tidak berbentuk, mereka bahagia bisa menaklukkan spesies invasif yang telah mendatangi tanah kelahiran mereka. Tetapi, mereka mulai murka karena mangsa favorit mereka sudah tidak berdatangan lagi seperti biasanya. Yah, sayangnya para monster itu malah tertular sifat rakusnya manusia yang mengakibatkan mereka menjadi selalu menginginkan lebih.

Kembali kepada si gadis yang sudah tiba di depan pintu masuk menuju Alvus, di titik pertemuan yang telah ditentukan. Misi pengawalan, hm? Para manusia ini tampaknya masih belum menyerah akan tempat ini. Mau berapa kali para Manstria harus menghajar mereka supaya mereka sadar? Entahlah, semoga saja ini yang terakhir.

Ia kembali mengecek penampilannya, rambutnya sudah tertata dan pakaiannya juga sudah rapi, sepertinya sudah tidak ada yang aneh lagi. Badannya memang mungil layaknya anak-anak, seharusnya tidak ada banyak hal yang harus ia perhatikan lagi selain terlihat rapi saja, bukan?

Setelah merasa siap ia pun memegangi gagang pintu masuk itu dan mulai mendorongnya ke arah luar. Pintu itu kemudian terbuka dan bisa terlihat beberapa manusia sedang berdiri tegak di luar sana. Yah kita lihat saja mau apa mereka sebenarnya.


Unless otherwise stated, the content of this page is licensed under Creative Commons Attribution-ShareAlike 3.0 License