"…karena jiwa dilunakkan oleh pertobatan, dan melalui pertobatanlah penebusan harus dilaksanakan."
KESULITAN PENYINTASAN
ZONA MAUT
|
Kelopak matamu terbuka. Dunia di sekelilingmu telah terbungkus kabut tebal beraroma belerang, melilit udara seperti jaring laba-laba yang menyesakkan. Langit di atas telah lenyap ditelan asap, menyembunyikan tebing-tebing tinggi yang mengurung tempat ini dalam kekekalan. Angin berbisik, bukan dalam nada yang menenangkan, tetapi seperti lolongan samar dari jiwa-jiwa yang tersesat. Langkah pertama di tanah yang retak terasa seperti melangkah di atas kulit dunia yang terbakar; batu-batu yang kau pijak tidak diam, melainkan berderak pelan, seakan memprotes kehadiranmu di sini. Tak ada suara burung, tak ada gemerisik dedaunan — yang ada hanyalah napasmu yang tercekik oleh udara yang lebih berat daripada dosamu, lebih pekat daripada abu kremasi. |
Kawah Penyucian. |
|
Air Penyucian. |
Namun, perlahan-lahan, kabutnya tersibak, seolah memberi kesempatan bagi mata untuk menyaksikan kengerian yang tersembunyi. Di depan sana, di tengah kawah, terbentang sebuah danau yang berkilauan seperti cermin retak — bukan sekadar air, melainkan lautan racun. Warna indigonya begitu menawan, begitu tak nyata, seolah melukiskan kedalaman yang bisa menelan segalanya. Uap asam naik dari permukaannya, berputar-putar dalam tarian hantu yang tak kasatmata, siap merobek paru-parumu dengan setiap hela napas yang terlalu dalam. Tak ada yang berani menyentuhnya, tak ada yang bisa; air tersebut tidaklah diam, namun menyuci. |
|
Mereka yang muncul di pinggir kawah ini selalu menghadapi dilema yang sama — tetap bertahan di sini, menunggu entah apa, atau mencoba mencari jalan keluar yang tak pernah dijanjikan. Tebing-tebing yang menjulang di sekelilingnya berdiri seperti penjaga bisu, terlalu curam untuk dipanjat, terlalu rapuh untuk dijadikan tumpuan. Setiap langkah ke arah dinding batu hanyalah langkah menuju keputusasaan; retakan yang terlihat kokoh akan pecah di bawah genggaman, meninggalkan jemari berdarah dan harapan yang tercerai-berai. Jalan satu-satunya hanyalah bertahan, menunggu, mendengarkan desir angin yang membawa kabar tentang mereka yang datang sebelum mereka — yang kini hanya berupa arwah. |
Tebing Penyucian. |
Api Penyucian. |
Dan, bila kau diam cukup lama — menutup mata dan membiarkan sunyi merasuk, kau akan mulai mendengar suara-suara samar yang tak berasal dari luar, melainkan dari dalam dirimu sendiri. Bisikan yang menyarankan untuk melangkah lebih dekat ke tepian, untuk melihat ke dalam kawah itu, untuk merasakan godaan kehancuran yang membius. Mungkin itulah nasib dari tempat ini — bukan untuk ditaklukkan, bukan untuk dijelajahi, tetapi untuk menguji batas keinginan manusia. Sampai akhirnya, mereka yang ada di sini hanya memiliki tiga pilihan: menjadi abu di tebing yang tak pernah ditaklukkan, tenggelam dalam danau yang tak mengampuni, atau menyerahkan diri sepenuhnya pada Api Penyucian — satu-satunya jalan menuju Level 51-ID. |
Kawah Penyucian.
Kelopak matamu terbuka. Dunia di sekelilingmu telah terbungkus kabut tebal beraroma belerang, melilit udara seperti jaring laba-laba yang menyesakkan. Langit di atas telah lenyap ditelan asap, menyembunyikan tebing-tebing tinggi yang mengurung tempat ini dalam kekekalan. Angin berbisik, bukan dalam nada yang menenangkan, tetapi seperti lolongan samar dari jiwa-jiwa yang tersesat. Langkah pertama di tanah yang retak terasa seperti melangkah di atas kulit dunia yang terbakar; batu-batu yang kau pijak tidak diam, melainkan berderak pelan, seakan memprotes kehadiranmu di sini. Tak ada suara burung, tak ada gemerisik dedaunan — yang ada hanyalah napasmu yang tercekik oleh udara yang lebih berat daripada dosamu, lebih pekat daripada abu kremasi.
Air Penyucian.
Namun, perlahan-lahan, kabutnya tersibak, seolah memberi kesempatan bagi mata untuk menyaksikan kengerian yang tersembunyi. Di depan sana, di tengah kawah, terbentang sebuah danau yang berkilauan seperti cermin retak — bukan sekadar air, melainkan lautan racun. Warna indigonya begitu menawan, begitu tak nyata, seolah melukiskan kedalaman yang bisa menelan segalanya. Uap asam naik dari permukaannya, berputar-putar dalam tarian hantu yang tak kasatmata, siap merobek paru-parumu dengan setiap hela napas yang terlalu dalam. Tak ada yang berani menyentuhnya, tak ada yang bisa; air tersebut tidaklah diam, namun menyuci.
Tebing Penyucian.
Mereka yang muncul di pinggir kawah ini selalu menghadapi dilema yang sama — tetap bertahan di sini, menunggu entah apa, atau mencoba mencari jalan keluar yang tak pernah dijanjikan. Tebing-tebing yang menjulang di sekelilingnya berdiri seperti penjaga bisu, terlalu curam untuk dipanjat, terlalu rapuh untuk dijadikan tumpuan. Setiap langkah ke arah dinding batu hanyalah langkah menuju keputusasaan; retakan yang terlihat kokoh akan pecah di bawah genggaman, meninggalkan jemari berdarah dan harapan yang tercerai-berai. Jalan satu-satunya hanyalah bertahan, menunggu, mendengarkan desir angin yang membawa kabar tentang mereka yang datang sebelum mereka — yang kini hanya berupa arwah.
Api Penyucian.
Dan, bila kau diam cukup lama — menutup mata dan membiarkan sunyi merasuk, kau akan mulai mendengar suara-suara samar yang tak berasal dari luar, melainkan dari dalam dirimu sendiri. Bisikan yang menyarankan untuk melangkah lebih dekat ke tepian, untuk melihat ke dalam kawah itu, untuk merasakan godaan kehancuran yang membius. Mungkin itulah nasib dari tempat ini — bukan untuk ditaklukkan, bukan untuk dijelajahi, tetapi untuk menguji batas keinginan manusia. Sampai akhirnya, mereka yang ada di sini hanya memiliki tiga pilihan: menjadi abu di tebing yang tak pernah ditaklukkan, tenggelam dalam danau yang tak mengampuni, atau menyerahkan diri sepenuhnya pada Api Penyucian — satu-satunya jalan menuju Level 51-ID.



